Abdul Malik Karim Amrullah
Buya Hamka.jpeg
Lahir 17 Februari 1908
Bendera Belanda Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Sumatera Barat
Meninggal 24 Juli 1981 (umur 73)
Bendera Indonesia Jakarta
Nama pena Hamka
Kewarganegaraan Bendera Indonesia Indonesia
Tema Roman, tafsir Al-Quran, sejarah Islam
Angkatan Balai Pustaka
Karya terkenal Tafsir Al-Azhar
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Di Bawah Lindungan Ka’bah
Pasangan Sitti Raham
Sitti Khadijah
Orangtua Abdul Karim Amrullah (ayah)
Kerabat Ahmad Rasyid Sutan Mansur (kakak ipar)


Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena Hamka (lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melaluiMasyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia(MUI) pertama, dan aktif dalamMuhammadiyah sampai akhir hayatnya.Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padangpanjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama sementara waktu di Medan. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka’bah danTenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melambung sebagai sastrawan.

Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya dalam Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatera Barat untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat pekerjaan diDepartemen Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur politik. Dalampemilihan umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil Muhammadiyah dan terpilih duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Maysumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungannya dengan Sukarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan malalah Panji Masyarakat tetapi berumur pendek, dibredel oleh Sukarno setelah menurunkan tulisan Hatta—yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul “Demokrasi Kita”. Seiring meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia merampungkan Tafsir Al-Azhar.

Seiring peralihan kekuasaan ke Suharto, Hamka dibebaskan pada Januari 1966. Ia mendapat ruang pemerintah, mengisi jadwal tetap ceramah di RRI dan TVRI. Ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Al-Azhar. Ketika pemerintah menjajaki pembentukan MUI pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.

 

Muhammadiyah

Hamka (baris tengah kedua dari kiri) bersama mubaligh-mubaligh Muhammadiya dari Minangkabau dan Solo saat menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta, 1931. — Foto: Historia.Id via Repro "Kenang-kenangan Hidup II" karya Hamka.

Hamka (baris tengah kedua dari kiri) bersama mubaligh-mubaligh Muhammadiya dari Minangkabau dan Solo saat menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta, 1931. — Foto: Historia.Id via Repro “Kenang-kenangan Hidup II” karya Hamka.

PEMBARUAN Islam di Minangkabau terjadi saat Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang datang dari Mekah pada 1803. Mereka berikhtiar memurnikan Islam dari praktik ritual yang mencemari agama, antara lain takhayul (mistik), bidah (melakukan ritual yang tak dicontohkan Rasulullah) dan khurafat (percaya kepada kekuatan gaib selain Allah).

Rintangan pertama ikhtiar itu datang dari kaum adat, pemegang teguh tradisi leluhur di Minangkabau. Genderang perang ditabuh. Belanda campur tangan sehingga menyulut perang terbuka antara dua kaum tersebut. Kelak perang itu dikenal sebagai “Perang Paderi”, berlangsung sejak 1803 sampai 1837 dengan kemenangan di pihak kaum adat.

Kekalahan Perang Paderi mendorong mereka mengirim anak-cucunya belajar Islam ke Mekah. Seabad setelah kepulangan tiga haji itu, pembaruan Islam dilakukan murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi: Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Mohammad Jamil Jambek, dan Syekh Abdulkarim Amrullah (Haji Rasul). Tidak hanya keras terhadap adat, mereka juga menentang aliran Islam tasawuf.

“Pada tahun 1906 mereka telah menyatakan bantahan keras kepada ajaran Ilmu Tasawwuf ‘Wihdatul Wujud’ yang telah menyeleweng jauh dari ajaran Tauhid,” tulis Hamka dalamMuhammadiyah di Minangkabau.

Haji Rasul menuangkan pemikiran-pemikiran pembaruan Islam di majalahAl-Munir yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada 1911. Majalah yang hanya terbit lima tahun ini, dibaca para pembaru Islam di Jawa. Ketika ke Jawa pada 1917, Haji Rasul disambut gembira oleh K.H. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Islam modern Muhammadiyah, dan murid-muridnya.

“Dan beliau sendiripun amat tertarik melihat bagaimana Kiyahi H.A. Dahlan memimpin murid-muridnya,” tulis Hamka. “Peti-peti tempat kaleng minyak tanah dijadikan bangku-bangku tempat belajar.”

Haji Rasul juga melihat usaha Ahmad Dahlan mengajarkan agama Islam di Kweekschool Gubernement (sekolah guru pemerintah). Sekembalinya ke Padang Panjang, dia menerapkan apa yang dilakukan Ahmad Dahlan. Dia sempat mengajar agama Islam di Normaalschool (sekolah guru) dan mendirikan Sumatra Thawalib dengan sistem pendidikan modern: kelas bertingkat, menggunakan meja tulis, menekankan bahasa Arab untuk mempelajari sumber-sumber Islam, memakai bahan-bahan pelajaran dari Mesir, serta tambahan pelajaran seperti ilmu bumi dan sejarah.

Thawalib dibuka di lima tempat dan masing-masing menerbitkan majalah: Al-Munir (Padang Pandang), Al-Basyir(Tanjung Sungayang), Al-Bayan(Parabek), Al-Iman (Padang Jepang), danAl-Ittiqaam (Maninjau).

Menurut Azyumardi Azra dalam Islam Subtantif, kaum pembaru, khusus angkatan Haji Rasul dan Abdullah Ahmad menganggap bahwa surau-surau hanyalah sumber bidah, khurafat, dan takhayul karena memang di sana banyak dilakukan praktik tasawuf. Mereka menganggap surau itu ketinggalan zaman dan harus dibuat sekolah-sekolah Islam. “Muncullah Diniyah, Thawalib, dan lain-lain yang merupakan sekolah-sekolah Islam modernis,” tulis Azra.

Pada 1920, ulama-ulama pembaru yang disebut “kaum muda” berhimpun dalam Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI). Namun, pada 1922, gerakan mereka mendapat tantangan dari guru Thawalib sendiri, yakni Datuk Batuah dan Natar Zainuddin, yang membawa paham komunis dari Jawa dan berhasil menyebarkannya di kalangan murid Thawalib. Bahkan, Haji Rasul terusir dari Thawalib dan mengajar sendiri di rumahnya di Gatangan, Padang Panjang sejak 1923 sampai gempa bumi mengguncang pada 28 Juni 1926.

Muhammadiyah jadi motor pembaruan Islam di Minangkabau, Hamka salah satu pengemudinya.

Pada 1925, Haji Rasul berkunjung ke Pekalongan untuk menengok putri sulungnya, Fatimah, istri Sutan Mansur. Sekalian dia temui adiknya, Ja’far Amrullah dan anak lelakinya, Hamka.

Sepeninggal Ahmad Dahlan, ada tujuh orang tokoh Muhammadiyah terkemuka salah satunya Sutan Mansur yang memimpin Muhammadiyah cabang Pekalongan, Pekajangan, dan Kedung Wuni. Alasan Sutan Mansur masuk Muhammadiyah, menurut Hamka, karena “selama ini dia merasa di Minangkabau Islam hanya dipelajari sebagai ilmu belaka. Tetapi tidak ada gerakan buat mengamalkan!”

Haji Rasul terkesan dengan kegiatan menantunya dalam Muhammadiyah. Dia juga meninjau Muhammadiyah di Yogyakarta. Dia kembali ke Minangkabau bersama Ja’far Amrullah dan Marah Intan, anggota Muhammadiyah. Tak lama setelah tiba, dia menganjurkan pendirian Muhammadiyah di Sungaibatang, Tanjungsani.

“Perkumpulan yang telah berdiri lebih dulu bernama Sendi Aman yang ketuanya adik beliau sendiri Haji Yusuf Amrullah langsung ditukar namanya jadi Muhammadiyah, minta diakui sebagai cabang dari Yogyakarta,” tulis Hamka.

Haji Rasul kemudian menganjurkan murid-murid Thawalib yang berasal dari Sungaibatang Tanjungsani mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumahnya di Gatangan, Padang Panjang. Tujuannya mempersiapkan mereka sebagai mubalig dan guru Muhammadiyah. Hamka yang kembali ke Padang Panjang pada Juli 1925, langsung terlibat dalam Tabligh Muhammadiyah. Seminggu sekali diadakan latihan tablig. Hamka membuatkan pidato bagi yang tak pandai mengarang. Pidato-pidato yang bagus dimuat majalah Khatibul Ummahdengan tiras 500 eksemplar. Hamka jadi pemimpin redaksinya. Majalah ini hanya terbit tiga nomor karena alasan keuangan.

Jauh sebelum Muhammadiyah masuk ke Sumatra, sejak 1923 propaganda komunis menyerang Muhammadiyah sebagai PEB (Penjilat Ekor Belanda), plesetan dari PEB (Politicsche Ekonomische Bond), partai politik kanan pembela pemerintah kolonial yang umumnya beranggota pegawai-pegawai pemerintah. Muhammadiyah juga disebut Sarekat Hijau. Hijau (warna penghinaan) lawan dari merah (warna revolusioner). Alasan propaganda ini diperkuat lagi karena Muhammadiyah di Yogyakarta menerima subsidi dari pemerintah kolonial untuk sekolah-sekolah yang didirikannya.

Menurut Hamka, berdirinya Muhammadiyah atas prakarsa Haji Rasul menjadi bahan hasutan orang-orang komunis. Oleh sebab itu, Muhammadiyah hanya berkembang di kampung, yaitu ke Sungaibatang Tanjungsani, tepi danau Maninjau, kampung halaman Haji Rasul; ke Batipuh dan Pitalah atas prakarasa Sutan Mangkuto yang mendirikan Muhammadiyah cabang Padang Panjang di rumah Haji Rasul. Begitu pula dengan Tabligh Muhammadiyah, pesertanya hanya berasal dari Sungaibatang Tanjungsani, itupun menurut Hamka disusupi oleh beberapa orang komunis.

Untuk menangani masalah tersebut, pada pengujung 1925 pengurus besar Muhammadiyah di Yogyakarta mengutus Sutan Mansur pergi ke Minangkabau. Dia menggunakan pendekatan yang lunak terhadap masyarakat. Ketika berpidato dia tak pernah menyinggung masalah adat dankhilafiyah (perbedaan pendapat dalam persoalan beragama) yang bertahun-tahun membuat panas hubungan “kaum muda” dan “kaum tua.” Dia menghargai para pemangku adat, penghulu, dan ninik-mamak; serta merangkul anak muda, bahkan berhasil menarik mereka dari paham komunis.

“Semua dihargainya, semua digalakkannya,” tulis Hamka. “Lantaran caranya ‘membuat kawan’ (kalimat ungkapan Sutan Mansur sendiri) yang seperti itu maka timbullah disekelilingnya murid-murid yang setia dan pemimpin-pemimpin yang berkepribadian.”

Hamka selalu mendampingi Sutan Mansur pergi berdakwah dan mendirikan cabang Muhammadiyah. “Didalam memimpin Muhammadiyah. Banyak dia (Hamka, red) mendapat pelajaran dari beliau (Sutan Mansur, red). Semangatnya naik, rasa anti penjajahan telah tumbuh,” demikian dimuat otobiografi Hamka,Kenang-kenangan Hidup Jilid II.

Bersama Sutan Mansur, Hamka ikut mendirikan Muhammadiyah Pagar Alam, Sumatra Selatan; Lakitan, Pesisir Selatan dan Kurai Taji, Pariaman, Sumatra Barat. Hamka jadi wakil ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Ketuanya Syekh Jalaluddin Rajo Endah IV Angkat menggantikan Syekh Mohammad Jamil Jaho. Setelah menghadiri kongres Muhammadiyah di Pekalongan tahun 1927, Syekh Mohammad Jamil Jaho dan Syekh Muhammad Zain, ketua Muhammadiyah cabang Simabur, baru tahu kalau keduanya yang beraliran “kaum tua” salah masuk organisasi: Muhammadiyah itu sama dengan “kaum muda” di Sumatra Barat.

Sepulang dari Mekah pada 1928, pada usia 21tahun Hamka diangkat jadi ketua cabang Muhammadiyah Padang Panjang dan memimpin sekolah Tabligh School di Padang Panjang. Pengajarannya setiap selasa malam di gedung Muhammadiyah di Guguk Malintang, dihadiri banyak orang. Caranya mengajar dianggap baru, berbeda dengan yang lain.

Dalam kongres Muhammadiyah ke-19 tahun 1930 di Bukittinggi, Hamka berpidato tentang “Agama Islam dalam Adat Minangkabau.” Baru kali ini seorang pembicara mencoba mempertautkan adat dengan agama dalam kongres yang bersifat nasional. Dalam kongres Muhammadiyah ke-20 tahun 1931 di Yogyakarta, Hamka menyampaikan pidato mengenai perkembangan Muhammadiyah di Sumatra. Pidatonya membuat hadirin menitikan airmata. Itulah sebabnya pengurus besar Muhammadiyah di Yogyakarta mengangkatnya menjadi mubalig di Makassar sampai digelarnya kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar pada pertengahan 1932. Sebelum ke Makassar, dia mendirikan Muhammadiyah cabang Bengkalis.

Hamka kembali ke Padang Panjang pada 1933. Dia mendirikan Kulliyatul Mubalighin Muhammadiyah yang mengajari murid-muridnya mengarang dan bertablig. Pada 1934 dia diangkat menjadi anggota majelis konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah (meliputi Sumatra Barat, Jambi, dan Riau). Dua tahun kemudian dia memenuhi undangan Haji Asbiran Ya’kub, ketua Yayasan Al-Busyra, penerbit mingguan Pedoman Masyarakat. Asbiran Ya’kub, mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis, meminta Hamka memimpin Pedoman Masyarakat.

Setelah H.R. Mohammad Said meninggal dunia tidak lama setelah kongres Muhammadiyah ke-28 tahun 1939 di Medan, Hamka terpilih menjadi konsul Muhammadiyah Sumatra Timur. Ketika Jepang datang, dia berusaha mempertahankan Muhammadiyah dari pembubaran seperti halnya Muhammadiyah di Palembang yang masjidnya dijadikan asrama tentara Jepang. Kepala Gunseibu, Letnan Kolonel Makagawa mengizinkan Muhammadiyah, ‘Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah dan Nasyiah berkegiatan seperti biasa. Sebagai imbalan, Hamka menjadi penasihat Jepang untuk masalah pemerintahan dan keislaman. Akibatnya, pasca-Jepang hengkang, Hamka mendapatkan cemoohan dari banyak orang, sehingga dia lari dari Medan ke Padang Panjang, di mana dia menjadi ketua majelis pimpinan Muhammadiyah Sumatra Barat dari 1946-1949.

Pada kongres Muhammadiyah ke-31 tahun 1950 di Yogyakarta, Hamka ikut menyusun Anggaran Dasar dan rumusan Kepribadian Muhammadiyah. Sejak kongres Muhammadiyah ke-32 tahun 1953 di Purwokerto, dia selalu terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhirnya mengundurkan diri pada 1971.

Muhammadiyah diperkenalkan di Minangkabau oleh Abdul Karim Amrullah –uniknya dia tidak pernah menjadi anggota–, disebarkan menantunya, Sutan Mansur dan anaknya, Hamka. Sejak itu, menurut Ahmad Syafii Maarif, ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah periode 2000-2005, dalam Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menggenangi hampir seluruh Minangkabau, dan dari daerah inilah radius Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Buya Hamka Mengajarkan Agama Kepada Anak Pramoedya

Buya Hamka Dan Pramoedya, dua sastrawan besar Indonesia. — muhammadiyahstudies.blogspot.co.id

Buya Hamka Dan Pramoedya, dua sastrawan besar Indonesia. — muhammadiyahstudies.blogspot.co.id

Hamka salah seorang ulama yang mendapat gelar Doktor Honouris Causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir, karena kiprah dakwahnya dalam membina umat. Ia dikenal dengan fatwanya ketika menjabat sebagai Ketua MUI, yang mengeluarkan fatwa haram bagi umat untuk Islam mengikuti “Perayaan Natal Bersama”. Ia juga yang menolak undangan untuk bertemu Paus, pemimpin Katholik dunia, ketika datang berkunjung ke Istana Negara pada masa Presiden Soeharto. Dengan tegas, Buya Hamka mengatakan perihal penolakannya bertemu Paus tersebut, “Bagaimana saya bisa bersilaturrahmi dengan beliau, sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?”

Demikian ketegasan Buya Hamka dalam soal akidah. Namun dalam bermuamalah, ia santun dan lembut, sikapnya mencerminkan pribadinya. Ia sosok pemaaf, tak pernah menaruh dendam.

Beberapa waktu lau, anak kelima dari Buya Hamka, Irfan Hamka, merilis ulang sebuah buku yang menggambarkan tentang sosok dan pribadi ulama tersebut. Buku berjudul “Ayah” itu menceritakan pengalaman hidup Irfan Hamka bersama sang ayah, dan suka duka perjalanan hidup ayah tercintanya, baik sebagai tokoh agama, politisi, sastrawan, dan kepala rumah tangga. Sebelumnya, putra kedua Buya Hamka, Rusjdi Hamka, juga pernah menulis buku yang mengisahkan tentang sosok sang ayah, yang berjudul “Pribadi dan Martabat Buya Hamka.”
Ada hal menarik yang diceritakan dalam buku “Ayah” tersebut. Terutama tentang bagaimana sosok pribadi Buya Hamka ketika menghadapi orang-orang yang pernah memfitnah, membenci, dan memusuhinya. Sebagai ulama yang teguh pendirian, tentu ada pihak yang tak suka dengan sikapnya. Irfan Hamka menceritakan bagaimana sikap Buya Hamka terhadap tiga orang tokoh yang dulu pernah berseberangan secara ideologi, memusuhi, membenci, bahkan memfitnahnya. Ketiga tokoh tersebut adalah Soekarno (Presiden Pertama RI), Mohammad Yamin (tokoh perumus lambang dan dasar negara), dan Pramoedya Ananta Toer (Budayawan Lekra/Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi seni dan budaya yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia).
Betapapun ketiga tokoh itu membenci dan memusuhi Buya Hamka, namun akhir dari kesudahan hidupnya mereka justru begitu menghormati dan menghargai pribadi dan martabat Buya Hamka.
Soekarno ketika menjabat sebagai Presiden RI dan memaksakan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), menahan Buya Hamka selama dua tahun empat bulan dengan tuduhan yang tidak main-main: terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Soekarno. Pada 28 Agustus 1964, Buya Hamka ditangkap dan dijerat dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Anti Subversif Pempres No.11. Hamka ditahan tanpa proses persidangan dan tanpa diberikan hak sedikitpun untuk melakukan pembelaaan. Tak hanya itu, buku-buku karyanya pun bahkan dilarang untuk diedarkan. Hamka dijebloskan ke penjara, diperlakukan bak penjahat yang mengancam negara. Begitu zalimnya sikap Soekarno terhadap ulama tersebut.
Namun apa yang terjadi, setelah bebas dari penjara, dan Buya Hamka sudah mulai beraktivitas kembali, sementara kekuasaan Soekarno sudah terjungkal, peristiwa mengharukan terjadi. Soekarno yang mulai hidup terasing dan sakit-sakitan, di akhir hayatnya kemudian menitipkan pesan kepada orang yang dulu pernah dizaliminya. Pesan tersebut disampaikan kepada Buya Hamka lewat ajudan Presiden Soeharto, Mayjen Soeryo, pada 16 Juni 1970. Isi pesan tersebut berbunyi, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.” Bahkan ketika hendak meninggal Bung Karno pun ingin ditutupi jenazahnya dengan bendera Muhammadiyah, ormas yang dibesarkan Buya Hamka.
Hamka terkejut, pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar kematian Soekarno. Tanpa pikir panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai wasiat Soekarno, Buya Hamka pun memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah menjebloskannya ke penjara itu. Dengan ikhlas ia menunaikan wasiat itu, mereka yang hadir pun terharu. Lalu, apakah Buya Hamka tidak menaruh dendam pada Soekarno. Dengan ketulusan ia mengatakan, “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Qur’an 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…”
Peristiwa mengharukan tentang kebesaran jiwa Buya Hamka dalam memaafkan orang-orang yang pernah membencinya adalah terkait dengan kematian Mohammad Yamin, salah seorang founding father negeri ini, tokoh kebangsaan yang juga termasuk perumus dasar dan lambang negara. Meski berasal dari Sumatera Barat, namun Yamin adalah produk pendidikan sekular. Ia aktif di Jong Sumatranen Bond (Ikatan Pemuda Sumatra) yang bercorak kesukuaan dan sekular. Ia juga menjadi anggota Gerakan Theosofi, sebuah organisasi kebatinan yang juga mengedepankan sekularisme dan paham kebangsaan.
Mohammad Yamin begitu membenci Buya Hamka karena perbedaan ideologi. Ia aktif di Partai Nasionalis Indonesia (PNI), sedangkan Buya Hamka aktif di Partai Masyumi. PNI menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, sementara Partai Masyumi berpegang teguh pada sikap ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Kebencian Yamin tersulut, ketika dalam Sidang Majelis Konstituante, dengan lantang Buya Hamka berpidato dan mengatakan, “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!”
Pidato Buya Hamka yang tegas tersebut kemudian menyulut kebencian Mohammad Yamin. Ia menyuarakan kebenciannya kepada Hamka dalam berbagai kesempatan, baik ketika dalam ruang Sidang Konstituante, ataupun dalam berbagai acara dan seminar. “Rupanya bukan saja wajahnya yang memperlihatkan kebencian kepada saya, hati nuraninya pun ikut membeci saya,” begitu kata Buya Hamka.
Tahun 1962, Mohammad Yamin jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Buya Hamka memantau perkembangannya lewat radio dan media massa cetak. Hingga tiba pada suatu hari, Chaerul Saleh, menteri di kabinet Soeharto menelponnya dan ingin menyampaikan kabar mengenai kesehatan Mohammad Yamin. Chaerul Saleh kemudian menagatakan kepada Hamka, “Buya, saya membawa pesan dari Pak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja menemui Buya untuk menyampaikan pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir beliau,” ujarnya.
Hamka yang tertegun kemudian bertanya, “Apa pesannya?” Sang menteri itu kemudian mengatakan,”Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya. Saat ini, pak Yamin dalam keadaan sekarat,”terangnya. Selain itu, kata sang menteri, “Beliau mengharapkan sekali, Buya bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya.” Kepada Buya Hamka, Menteri Chaerul Saleh itu juga mengatakan, Yamin khawatir, masyarakat Talawi, Sumatera Barat, tempatnya berasal, tidak berkenan menerima jenazahnya.
Mendengar penuturan Chaerul Saleh, saat itu juga Buya Hamka kemudian minta diantar ke RSPAD, tempat Yamin terbaring sakit. Melihat kedatangan Hamka, Yamin yang tergolek lemah kemudian melamabaikan tangan. Hamka mendekatinya, kemudian menjabat hangat tangannya. Yamin memegang erat tokoh yang dulu pernah dimusuhinya itu. Sementara Hamka terus membisikan ke telinga Yamin surat Al-Fatihah dan kalimat tauhid, “Laa ilaaha illallah.” Dengan suara lirih, Yamin mengikuti. Namun tak berapa lama, tangannya terasa dingin, kemudian terlepas dari genggaman Buya Hamka.
Mohammad Yamin menghembuskan nafas terakhirnya disamping sosok yang dulu menjadi seterunya. Di akhir hayat, tangan keduanya berpegangan erat, seolah ingin menghapuskan segala sengketa yang pernah ada. Orang yang hadir ketika itu mungkin terlibat dalam keharuan yang sangat. Memenuhi wasiat Yamin, Hamka pun kemudian turut mengantar jenazah salah seorang tokoh nasional itu sampai ke pembaringan terakhirnya.
Cerita terakhir adalah tentang Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer. Keduanya berseberangan secara ideologi. Pram, sapaan akrab sastrawan kelahiran Blora itu, menyuarakan aspirasi kaum kiri dan aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan PKI. Lewat rubrik Lentera di Surat Kabar Bintang Timoer, Pram dan kawan-kawannya tak henti-hentinya menyerang Hamka. Karya-karya novel Hamka dituding sebagai plagiat, pribadinya diserang sedemikian rupa. Fitnah dan penghinaan itu tak lain adalah karena Buya Hamka adalah seorang sastrawan yang anti Komunis, tokoh Muhammadiyah dan Masyumi.
Namun takdir perseteruan itu menemukan jalan ceritanya yang sungguh mengharukan. Suatu ketika, Astuti, putri Pramoedya mengutarakan keinginannya untuk menikah. Ia sudah menentukan calon pendamping bernama Daniel Setiawan. Pram tentu bersenang hati atas keinginan anaknya tersebut. Namun ada satu ganjalan di hatinya, sang calon menantu yang berasal dari peranakan etnis Tionghoa, ternyata berlainan keyakinan dengan putrinya. “Saya tidak rela anak saya kawin dengan orang yang secara kultur dan agama berbeda,” demikian ujar Pram, sebagaimana disampaikannya kepada Dr. Hoedaifah Koeddah, dokter yang mengobatinya dan dekat dengan keluarganya.
Singkat cerita, Pram kemudian meminta putri dan calon menantunya itu untuk datang menemui Buya Hamka, sosok ulama yang menjadi seterunya. Ia meminta calon menantunya itu untuk belajar Islam kepada Hamka. “Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik,” demikian Pram menjelaskan.
Bersama Astuti, sang calon menantu Pram itu kemudian mendatangi kediaman Buya Hamka. Ia menceritakan maksud kedatangan, agar Buya bersedia mengajarkan kekasihnya itu ajaran-ajaran Islam. Setelah itu, ia memperkenalkan diri sebagai anak dari Pramoedya Ananta Toer. Buya Hamka tertegun sejenak, raut wajahnya seperti ingin meneteskan air mata. Ia kemudian dengan ikhlas membimbing sejoli itu untuk belajar Islam. Tak lupa pula, ia menitipkan salam untuk ayah sang putri itu. Suasana begitu haru.
Astuti, putri Pramoedya itu tak menyangka, sosok yang dulu begitu dibenci oleh ayahnya, ternyata adalah lelaki yang bersahaja dan berlapang dada. Ia sungguh terharu, dan berterimakasih bisa diterima untuk menimba ilmu agama. Mereka kemudian larut dalam kehangatan dan melupakan segala dendam.
Begitulah sosok Buya Hamka. Ulama yang tegas dan bersahaja. Lelaki yang tak pernah memelihara dendam dalam hatinya, meski musuh yang begitu membencinya sudah tak berdaya. Ia berjiwa besar, berlapang dada, dan menganggap segala kebencian bisa sirna dengan saling memaafkan dan menebarkan cinta. Keteladanannya kini, tetap bersinar seperti mutiara.

Sastra

Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadieditor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.

Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjanaPerancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.

Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dancerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi danotobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf,tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, danMerantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra diMalaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.[56]

Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.

Daftar karya

  1. Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
  2. Ayahku (Riwayat HidupDr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya), Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.
  3. Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
  4. Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
  5. Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
  6. Majalah Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.
  7. Majalah al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.
  8. Bohong di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
  9. Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
  10. Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
  11. Majalah Semangat Islam, 1943.
  12. Majalah Menara, Padang Panjang, 1946.
  13. Hikmat Isra’ Mi’raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
  14. Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  15. Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  16. Revolusi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  17. Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  18. Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
  19. Revolusi Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
  20. Sesudah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
  21. Tinjauan Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.
  22. Pribadi, 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
  23. Falsafah Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
  24. Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.
  25. Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.
  26. Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
  27. K.H. A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.
  28. Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad, cet. 3, Jakarta: Pustaka Islam, 1957.
  29. Pribadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1959.
  30. Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
  31. Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun 1995 dan 1999).
  32. 1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.
  33. Cemburu, Jakarta: Firma Tekad, 1962.
  34. Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.
  35. Ekspansi Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
  36. Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965 (awalnya merupakan naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
  37. Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
  38. Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
  39. Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
  40. Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
  41. Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, Padang: Minang Permai, 1969.
  42. Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1970.
  43. Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971.
  44. Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
  45. Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
  46. Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam pada Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
  47. Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
  48. Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.
  49. Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
  50. Studi Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.
  51. Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.
  52. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980.
  53. Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
  54. Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
  55. Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
  56. Tasawuf Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
  57. Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta: Yayasan Idayu, 1983.
  58. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  59. Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  60. Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
  61. Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
  62. Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
  63. Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
  64. Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
  65. Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.
  66. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.
  67. Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  68. Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.
  69. Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.
  70. Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.
  71. Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
  72. Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939).
  73. Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.
  74. Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
  75. Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.
  76. Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.
  77. Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.
  78. Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
  79. Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
  80. Terusir, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
  81. Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1958.
  82. Di Bawah Lindungan Ka’bah, cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
  83. Tuan Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.
  84. Dijemput Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
  85. Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
  86. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, cet. 13, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
  87. Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka Nasional, 1929.
  88. Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.
  89. Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.
  90. Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.
  91. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
  92. Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
  93. Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih(terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  94. Margaretta Gauthier(terjemahan karyaAlexandre Dumas), cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

 

Meninggal Dunia

Setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI, kesehatannya menurun. Atas anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga itu, ia diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 18 Juli 1981, yang bertepatan dengan awal Ramadan.

Pada hari keenam dirawat, ia sempat menunaikan salat Duha dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum. Siangnya, beberapa dokter datang memeriksa kondisinya, dan kemudian menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan koma. Kondisi tersebut tetap berlangsung sampai malam harinya. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan alat pacu jantung. Pada pukul 10 pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan Hamka menghembuskan napas terakhirnya tidak lama setelah itu.

Hamka meninggal dunia pada hari Jum’at, 24 Juli 1981 pukul 10 lewat 37 menit dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir dihadiri Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salimserta Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam salat jenazahnya. Jenazahnya dibawa ke Masjid Agung dan disalatkan lagi, dan kemudian akhirnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipimpinMenteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara.

 

Pahlawan Nasional

Buya Hamka- dianugerahi gelar pahlawan nasional bersama tujuh tokoh lainnya, Selasa 8 November 2011. Anugerah itu diberikan melalui ahli warisnya di Istana Negara Jakarta di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).


 

[wikipedia, historia.id, muhammadiyahsrudies.blogspot.co.id, viva.co.id]

Tinggalkan komentar